Sabtu, 19 Mei 2012

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN


3.1 Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan, karena peneliti turun langsung ke lapangan untuk memperoleh data yang sesuai dengan masalah penelitian.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, maka peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya ( Sudaryanto, 1992: 62).
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahasa lisan. Data bahasa lisan tersebut dipilih dari hasil interaksi masyarakat di Desa Teporoko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe berupa tuturan-tuturan dalam bentuk kalimat atau kata-kata yang memuat tentang kata ganti orang yang dituturkan oleh penutur asli yang sesuai dengan konteks pembicaran.
3.2.2 Sumber Data
Sehubungan data penelitian ini berupa data lisan maka sumber data dalam penelitian ini adalah informan. Informan yang ditetapkan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu informan dari penutur asli bahasa ereke terdiri dari 3 orang dan informan dari penutur asli bahasa wawonii terdiri dari 3 orang. Orang yang dijadikan sebagai informan adalah mereka yang memenuhi criteria sebagai berikut:
a.    Penutur asli bahasa yang diteliti
b.    Berdomisili di lokasi penelitian
c.    Memiliki artikulasi yang baik
d.    Komunikatif sehingga memahami apa yang diajukan peneliti
e.    Memiliki waktu untuk memberikan data kebahasaan (Marafad, 2008:18)
3.3    Metode dan Teknik Pengumpulan Data
3.3 1 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari peneliti, peneliti menggunakan metode simak dan metode cakap, yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak setiap pembicaraan informan. Metode cakap yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data lisan dengan cara mengadakan kontak langsung dengan informan.
3.3.2 Teknik pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini. Yaitu:
1.    Teknik rekam, yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara merekam percakapan informan, terutama yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik rekam digunakan dengan pertimbangan bahwa data yang diteliti berupa data lisan. Teknik ini dilakukan dengan berencana, sistematis maupun dengan serta merta.
2.    Teknik catat yaitu cara yang dilakukan peneliti untuk mencatat data-data yang ada hubungannya dengan masalah peneliti, kemudian diseleksi, diatur, selanjutnya diklasifikasikan.
3.    Elisitasi, yaitu mengajukan pertanyaan secara langsung dan terarah.

3.4    Metode dan Teknik Analisis Data
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan structural yang bersifat deskriptif sinkronis, yakni peneliti berusaha memberikan gambaran objektif tentang bentuk pronomina dengan memberlakukan bahasa tersebut dalam pemakaian masyarakat tutur pada masa sekarang.

`BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Morfologi
2.1.1 Pengertian morfologi
Bagian dari tata bahasa yang membicarakan bentuk kata disebut morfologi. Pengertian tentang bentuk belum jelas bila kita belum mengetahui lebih lanjut tentang wujudnya dan apa yang menjadi ciri-cirinya.Semua arus-ujaran yang sampai ke telinga kita terdengar sebagai suatu rangkaian kesatuan. Bila kita berusaha memotong-motong suatu arus-ujaran yang sederhana seperti:
/ p e k e r j a a n m e r e k a m e m u a s k a n /
maka potongan-potongan (segmen) yang akan kita dapat yaitu potongan-potongan yang merupakan kesatuan yang langsung membina kalimat itu adalah: pekerjaan, mereka dan memuaskan . Unsur mereka di satu pihak tidak dapat dipecahkan lagi, sedangkan unsur pekerjaan dan memuaskan masih dapat dipecahkan lagi menjadi: kerja dan pe-an , serta puas dan me-kan. Unsur-unsur kerja dan puas dapat pula dengan langsung membentuk kalimat.Sebaliknya unsur-unsur pe-an dan me-kan tidak bisa langsung membentuk sebuah kalimat. Unsur-unsur ini juga tidak bisa berdiri sendiri, selalu harus diikatkan kepada unsur-unsur lain seperti puas, kerja, dan lain-lain. Untuk ikut serta dalam membentuk sebuah kalimat, unsur-unsur pe-an dan me-kan pertama-tama harus digabungkan dengan unsur puas dan kerja.
2.1.2 Morfem
 Dalam bahasa Indonesia kita dapati dua macam morfem yaitu:
a. Morfem dasar atau morfem bebas , seperti: kerja, puas, bapak, kayu, rumah, tidur, bangun, sakit, pendek, dan lain-lain.
b. Morfem terikat , seperti: pe-, -an, pe-an, ter-, ber-, me-, dan lain-lain.
Dalam tata bahasa Indonesia morfem dasar atau morfem bebas itu disebut kata dasar , sedangkan morfem terikat disebut imbuhan. Jadi Morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya.
2.1.3 Alomorf
Dalam merealisasikan morfem-morfem tersebut, pada suatu ketika kita sampai kepada suatu kenyataan bahwa morfem-morfem itu dapat juga mengalami variasi atau perubahan bentuk. Misalnya morfem ber- dalam bahasa Indonesia dalam realisasinya dapat mengambil bermacam-macam bentuk:
                   ber-             be-              bel-
                   berlayar       bekerja        belajar
                   bersatu        berambut
                   bergirang     beruang
                   berdiri          berakit dan lain-lain.
Perubahan bentuk ber- menjadi be- atau bel- disebabkan oleh lingkungan yang dimasukinya. Bila ber- memasuki suatu lingkungan kata yang mengandung fonem /r/ dalam suku kata pertama, maka fonem /r/ dalam morfem ber- itu ditanggalkan. Dalam suatu kesempatan unsur /r/ itu berubah menjadi /l/. Bentuk-bentuk variasi dari pada morfem itu disebut alomorf . jadi Alomorf adalah variasi bentuk dari suatu morfem disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang dimasukinya.
2.2 Kelas Kata
2.2.1 Kata Benda atau Nomina
Kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan. Selanjutnya kata-kata benda, menurut wujudnya, dibagi atas:
1.    Kata benda konkrit, dan
2.    Kata benda abstrak.
Kata-kata benda konkrit adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Kata benda konkrit selanjutnya dibagi lagi atas:
1.    Nama diri
2.    Nama zat dan lain sebagainya.
Dalam persoalan kata benda, bahasa-bahasa Barat, khususnya bahasa Yunani-Latin, mempunyai ciri-ciri yang khusus untuk menunjukkan bahwa kata tersebut adalah kata benda. Ciri-ciri itu meliputi:
1.    Perubahan bentuk berdasarkan fungsi kata itu dalam sebuah kalimat ( Casus ).
2.    Perubahan bentuk berdasarkan jumlah dari kata benda itu ( Numerus ). Bahasa Latin mengenal dua numeri: Singularis dan Pluralis atau Tunggal dan Jamak, sedangkan bahasa-bahasa Yunani dan Sansekerta mengenal tiga numeri: Singularis, Dualis dan Pluralis.
3.    Jenis kata dari kata benda itu (genus atau gender).
Semua ciri itu tidak bisa diterapkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak menganal akan adanya casus, tidak mengenal akan adanya numerus juga tidak mengenal genus . Kita tidak perlu merasa bahwa bahasa Indonesia kekurangan sesuatu atau miskin akan sesuatu bentuk atau konsep. Tiap bahasa memiliki sifat-sifat yang khas. Sistem bahasa Indonesia dalam dirinya sendiri cukup sempurna untuk mengungkapkan segala sesuatunya sebagai pendukung kebudayaan bangsa Indonesia . Untuk itu perlu kita menggali (bukan meniru-niru) ciri-ciri yang masih tersembunyi dalam struktur bahasa ini, untuk dijadikan ciri kata bendanya. (Lihat Kata Benda pada Pembagian Jenis Kata Baru)
2.2.2 Kata Kerja atau Verba
Kata kerja adalah semua kata yang menyatakan perbuatan atau laku. Bila suatu kata kerja menghendaki adanya suatu pelengkap maka disebut kata kerja transitif , seperti memukul, menangkap, melihat, mendapat, dan sebagainya. Sebaliknya, bila kata kerja tersebut tidak memerlukan suatu objek maka disebut kata kerja intransitif , seperti menangis, meninggal, berjalan, berdiri dan sebagainya.
Kata-kata dalam bahasa Yunani, Latin, Sansekerta jelas bias ditentukan sebagai kata kerja karena mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu bentuk verbal-finit . Bentuk verbal-finit adalah bentuk yang khusus yang hanya bias diambil oleh sebuah kata kerja. Bentuk finit (yang sudah dibatasi) dari suatu kata kerja tergantung dari beberapa hal berikut, yang sekaligus mengharuskan kita memakai bentuk-bentuk yang sesuai dengan itu, yaitu:
1.    Berdasarkan persona (orang: I, II, III/tunggal dan jamak)
2.    Berdasarkan ragamnya (pasif-aktif).
3.    Berdasarkan kalanya ( tempus, tense ).
4.    Berdasarkan cara ( modus : indikatif, impertaif, desideratif dan sebagainya).
Perubahan bentuk kata kerja berdasarkan keempat hal di atas disebut konjugasi . Sedangkan perubahan, baik pada kata-kata benda (deklinasi) maupun pada kata-kata kerja (konjugasi) bersama-sama disebut fleksi . Itulah sebabnya bahasa-bahasa Barat disebut juga bahasa-bahasa Fleksi.
Di samping perubahan bentuk-bentuk tersebut, bentuk-bentuk in-finitnya menunjukkan cirri-ciri khusus, yang sekaligus menjadi tanda pengenal bahwa kata tersebut adalah kata kerja. Misalnya semua kata yang berakhiran –are, -ere, -ere, dan ire- adalah kata kerja. Jadi jika kita menemukan kata seperti amare, cantare, delere, regere, dormire, dan lain-lain kita akan dapat memastikan bahwa kata-kata itu adalah kata kerja, walaupun kita tidak mengetahui artinya. Dengan demikian kata aegrotare yang berarti sakit dalam bahasa Latin akan langsung kita golongkan dalam kata kerja, tanpa melihat artinya. Tetapi bagaimana dengan kata sakit dalam bahasa Indonesia ? Oleh karena itu, kita harus mencari ciri-ciri untuk mejadi pegangan kata kerja dalam bahasa Indonesia. (Lihat Kata Kerja pada Pembagian Jenis Kata Baru).
2.2.3 Kata Sifat atau Adjektif
Menurut Aristoteles, kata sifat adalah kata yang menyatakan sifat atau hal keadaan dari suatu benda: tinggi, rendah, lama, baru, dan sebagainya. Adjektif dalam bahasa-bahasa Barat selalu harus selaras dengan kata benda yang diikuti dalam tiga hal, yaitu:
1.    dalam casus nya;
2.    dalam jumlahnya (numerus);
3.    dan dalam jenis kata (genus).
Adjektif selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan (gradus comparationis), untuk membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain. Taraf-taraf perbandingan itu adalah:
1.    Tingkat biasa atau gradus positivus.
2.    Tingkat lebih atau gradus comparativus.
3.    Tingkat paling atau gradus superlativus.
Selain dari ketiga tingkat perbandingan ini masih ada satu hal yang lain yaitu: keadaan yang sangat tinggi derajatnya, tetapi dengan tidak mengadakan perbandingan dengan urutan-urutan keadaan yang lain. Derajat semacam ini disebut elatif, misalnya:
      - Yang terpenting, ialah memilih kawan-kawan yang dapat dipercaya.
      - Gunung itu terlalu tinggi.
Kedudukan jenis kata ini jelas dalam bahasa-bahasa Barat. Kata-kata ini bias dikenal segera karena bentuknya yang khusus yang diambil berdasarkan kata benda yang diikutinya (dalam hal genus, numerus, dan casus) maupun berdasarkan tingkat-tingkat perbandingannya. Apakah bahasa Indonesia juga memiliki ciri-ciri khusus untuk menentukan bahwa suatu kata adalah kata sifat? (Lihat Kata Sifat pada Pembagian Jenis Kata Baru).
2.2.4 Kata Bilangan atau Numeralia
Kata Bilangan adalah kata yang menyatakan jumlah benda atau jumlah kumpulan atau urutan tempat dari nama-nama benda.
Menurut sifatnya kata bilangan dapat dibagi atas:
1.    Kata Bilangan Utama (Numeralia Caedinalia): satu, dua, tiga, empat, seratus, seribu, dan sebagainya.
2.    Kata Bilangan Tingkat (Numeralia Ordinalis): pertama, kedua, ketiga, kelima, kesepuluh, keseratus, dan sebagainya.
3.    Kata Bilangan Tak Tentu: beberapa, segala, semua, tiap-tiap dan sebagainya.
4.    Kata Bilangan Kumpulan: kedua, kesepuluh, dan sebagainya; bertiga, berdua, bersepuluh.

2.3 Kata Dasar
Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib , yaitu:
1.    Pola Kanonik I: K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga, dada, dan sebagainya.
2.    Pola Kanonik II: K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.
Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh von Dempwolff. Tetapi, andaikata kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain? Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K, V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar. Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.
Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata ( silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi sukukata-sukukata, maka kta akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari ketiga jenis silaba itu, misalnya:
             ru - mah  (K-V + K-V-K)
             ka - ta     (K-V + K-V)
             a  - pa     (V + K-V)
             lem - but  (K-V-K + K-V-K)
             na - ik      (K-V + V-K)
              a - ir       (V + V-K) dan lain-lain.
2.4 Kata Ulang
Kata ulang disebut juga reduplikasi.
2.4.1 Macam-Macam Kata Ulang
Berdasarkan macamnya bentuk perulangan dalam bahasa Indonesia dapat kita bagi menjadi empat macam:
a. Reduplikasi atas suku kata awal, atau di sebut juga dwipurwa. Dalam bentuk perulangan ini     vokal dari suku kata awal mengalami pelemahan dan bergeser ke posisi tengah menjadi e     (pepet).
    Contoh: tatangga > tetangga
                 luluhur   > leluhur
                 luluasa   > leluasa
b. Reduplikasi atas seluruh bentuk dasar. Ulangan ini di sebut ulangan utuh. Ulangan utuh ada dua     macam, yaitu ulangan atas bentuk dasar yang berupa kata dasar atau disebut juga dwilingga,         dan ulangan atas bentuk dasar berupa kata jadian berimbuhan.
    Contoh: rumah > rumah-rumah         kejadian > kejadian-kejadian
                 anak  > anak-anak              pencuri   > pencuri-pencuri
c. Reduplikasi yang juga terjadi atas seluruh suku kata, namun pada salah satu lingganya terjadi     perubahan suara pada suatu fonem atau lebih. Perulangan macam ini disebut dwilingga salin     suara.
    Contoh: gerak-gerak > gerak-gerik
                 sayur-sayur > sayur-mayur
d. Reduplikasi dengan mendapat imbuhan, baik pada lingga pertama maupun pada lingga kedua.     Ulangan macam ini disebut ulangan berimbuhan.
    Contoh: bermain-main, berkejar-kejaran, melihat-lihat, tarik-menarik.
2.4.2 Fungsi
Kata ulang berfungsi sebagai alat untuk membentuk jenis kata, dan dapat dikatakan bahwa perulangan sebuah kata akan menurunkan jenis kata yang sama seperti bila kata itu tidak diulang.
2.4.3 Arti
Adapun arti yang dapat didukung oleh perulangan adalah:
a. Mengandung arti banyak yang tak tentu.
    Contoh: Ayah membelikan saya sepuluh buah buku (banyak tentu)
                Buku-buku itu telah kusimpan dalam lemari (banyak tak tentu)
b. Mengandung arti bermacam-macam.
    Contoh: pohon-pohonan, buah-buahan.
c. Menyerupai atau tiruan dari sesuatu.
    Contoh: kuda-kuda, anak-anakan, langit-langit.
d. Melemahkan arti, dalam hal ini dapat diartikan dengan agak.
    Contoh: Sifatnya kekanak-kanakan.
                Ia berlaku kebarat-baratan.
                Orang itu sakit-sakitan.
e. Menyatakan intensitas, baik kualitas, kuantitas, maupun frekuensi.
    i) Intensitas kualitatif: Pukullah kuat-kuat.
                                     Belajarkah segiat-giatnya.
   ii) Intensitas kuantitatif: kuda-kuda, rumah-rumah.
  iii) Intensitas frekuentatif: Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
                                        Ia mondar-mandir sejak tadi.
f. Menyatakan arti saling, atau pekerjaan yang berbalasan.
   Contoh: Keduanya bersalam-salaman.
                Dalam perkelahian itu terjadi tikam-menikam antara kedua orang tersebut.
g. Perulangan pada kata bilangan mengandung arti kolektif.
    Contoh: dua-dua, tiga-tiga, lima-lima.
 Ada beberapa kata yang selintas tampaknya seolah-olah merupakan kata ulang seperti biri-biri dan kupu-kupu. Kata-kata kupu-kupu dan biri-biri keseluruhannya merupakan kata dasar, bukan kata ulang. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa Indonesia tidak terdapat bentuk seperti biri dan kupu.
2.5 Kata Majemuk
Kata Majemuk atau Kompositum adalah gabungan dari da kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan arti.
Pada umumnya struktur kata majemuk sama seperti kata biasa yaitu tidak dapat dipecahkan lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil. Contoh: saputangan, matahari, orangtua, kakitangan, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya, ada bentuk kata yang lazimnya dianggap sebagai kata majemuk, masih menunjukkan struktur yang renggang, dalam artian masih dapat dipisahkan oleh unsure-unsur lain.
Contoh: rumah makan = at dipulangkan kepada frase rumah tempat makan.
2.6 Kata Keterangan atau Adverbia
2.6.1 Kata Keterangan Kualitatif (Adverbium Kualitatif)
Adalah Kata Keterangan yang menerangkan atau menjelaskan suasana atau situasi dari suatu perbuatan.
Contoh: Ia berjalan perlahan-perlahan
             Ia menyanyi dengan nyaring
2.6.2 Kata Keterangan Waktu (Adverbium Temporal)
Adalah keterangan yang menunjukkan atau menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa dalam suatu bidang waktu: sekarang, nanti, kemarin, kemudian, sesudah itu, lusa, sebelum, minggu depan, bulan depan, dan lain-lain.
Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan waktu, sebab kata-kata tersebut tidak menunjukkan suatu bidang waktu berlangsungnya suatu tindakan, tetapi menunjukkan berlangsungnya suatu peristiwa secara obyektif.
2.6.3 Kata Keterangan Tempat (Adverbium Lokatif)
Segala macam kata ini memberi penjelasan atas berlangsungnya suatu peristiwa atau perbuatan dalam suatu ruang, seperti: di sini, di situ, di sana, ke mari, ke sana, di rumah, di Bandung, dari Jakarta dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas tyang secara konvensional dianggap Kata Keterangan Tempat, jelas tampak bahwa golongan kata ini pun bukan suatu jenis kata, tetapi merupakan suatu kelompok kata yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam kalimat. Keterangan Tempat yang dimaksudkan dalam Tatabahasa-tatabahasa lama terdiri dari dua bagian yaitu kata depan (di, ke, dari) dan kata benda atau kata ganti penunjuk.
2.6.4 Kata Keterangan Cara (Keterangan Modalitas)
Adalah kata-kata yang menjelaskan suatu peristiwa karena tanggapan si pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut. Dalam hal ini subyektivitas lebih ditonjolkan. Keterangan ini menunjukkan sikap pembicara, bagaimana cara ia melihat persoalan tersebut. Pernyataan sikap pembicara atau tanggapan pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut dapat berupa:
1.    Kepastian : memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukannya, bukan.
2.    Pengakuan : ya, benar, betul, malahan, sebenarnya.
3.    Kesangsian : agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, dan lain-lain.
4.    Keinginan : moga-moga, mudah-mudahan.
5.    Ajakan : baik, mari, hendaknya, kiranya.
6.    Larangan : jangan.
7.    Keheranan : masakan, mustahil, mana boleh.
2.6 Kata Sambung atau Konjuksi
Kata Sambung adalah kata yang menghubungkan kata-kata, bagian-bagian kalimat, atau menghubungkan kalimat-kalimat. Cara atau sifat menghubungkan kata-kata atau kalimat-kalimat itu dapat berlangsung dengan berbagai cara:
1.    Menyatakan gabungan: dan, lagi pula, serta.
2.    Menyatakan pertentangan: tetapi, akan tetapi, melainkan.
3.    Menyatakan waktu: apabila, ketika, bila, bilamana, demi, sambil, sebelum, sedang, sejak, selama, semenjak, sementara, seraya, setelah, tatkala, waktu.
4.    Menyatakan tujuan: supaya, agar.
5.    Menyatakan sebab: sebab, karena, karena itu, sebab itu.
6.    Menyatakan akibat: sehingga, sampai.
7.    Menyatakan syarat: jika, andaikata, asal, asalkan, jikalau, sekiranya, seandainya.
8.    Menyatakan pilihan: atau… atau…, …maupun, baik… baik…, entah… entah….
9.    Menyatakan bandingan: seperti, bagai, bagaikan, seakan-akan.
10.    Menyatakan tingkat: semakin… semakin…, kian… kian….
11.    Menyatakan perlawanan: meskipun, biarpun.
12.    Pengantar kalimat: maka, adapun, akan.
13.    Menyatakan penjelas: yakni, umpama, yaitu.
14.    Sebagai penetap sesuatu: bahwa.
 2.7 Kata Depan atau Preposisi
Kata Depan menurut definisi tradisional adalah kata yang merangkaikan kata-kata atau bagian-bagian kalimat.
Kata-kata Depan yang terpenting dalam bahasa Indonesia ialah:
1.    Di, Ke, Dari: ketiga macam kata depan ini dipergunakan untuk merangkaikan kata-kata yang menyatakan tempat atau sesuatu yang dianggap tempat.
2.    Pada: bagi kata-kata yang menyatakan orang, nama orang atau nama binatang, nama waktu atau kiasan dipergunakan kata pada untuk menggantikan di, atau kata-kata depan lain yang digabungkan dengan pada seperti daripada, kepada.
3.    Selain daripada itu terdapat Kata Depan yang lain, seperti: di mana, di sini, di situ, akan, oleh, dalam, atas, demi, guna, untuk, buat, berkat, terhadap, antara, tentang, hingga, dan lain-lain. Di samping itu ada beberapa Kata Kerja yang dipakai pula sebagai kata depan, yaitu: menurut, menghadap, mendapatkan, melalui, menuju, menjelang, sampai.
Ada beberapa Kata Depan yang menduduki bermacam-macam fungsi yang istimewa, yang perlu kita beri perhatian, antara lain:
1. Akan
Kata Depan akan dapat menduduki beberapa macam fungsi:
a. Pengantar obyek
   Contoh: Ia tidak tahu akan hal itu.
               Aku lupa akan semua kejadian itu.
b. Untuk menyatakan kejadian di masa yang akan datang.
   Contoh: Saya akan pergi ke Surabaya .
c. Sebagai penguat atau penekan; dalam hal ini dapat berfungsi sebagai penentu.
   Contoh: Akan hal itu kita perundingkan kelak.
2. Dengan
Kata Depan dengan dapat menduduki beberapa macam fungsi, antara lain:
a. Untuk menyatakan alat (instrumental).
   Contoh: Ia memukul anjing itu dengan tongkat.
b. Menyatakan hubungan kesertaan (komitatif).
   Contoh: Ia berangkat ke sekolah dengan teman-temannya.
c. Membentuk adverbial kualitatif.
   Contoh: Perkara itu diselidiki dengan cermat.
d. Dipakai untuk menyatakan keterangan komparatif.
   Contoh: Adik sama tinggi dengan Ali.
3. Atas
Arti dan fungsi:
a. Membentuk keterangan tempat, dalam hal ini sama artinya dengan di atas .
   Contoh: Kami menerima tanggung jawab itu di atas pundak kami.
b. Menghubungkan Kata Benda atau Kata Kerja dengan keterangan.
   Contoh: Kami mengucapkan terimakasih atas kerja samanya.
c. Dipakai di depan beberapa kata dengan arti dengan atau demi .
   Contoh: atas nama       atas kehendak
               atas desakan    atas kemauan
4. Antara
Arti dan fungsi:
a. Sebagai penunjuk jarak.
   Contoh: Jarak antara Surabaya dan Jakarta 
b. Sebagai penunjuk tempat, dalam hal ini sama artinya dengan di antara .
   Contoh: Antara murid-murid itu, mana yang terpandai?
c. Dapat pula berarti kira-kira.
   Contoh: Antara lima enam pekan ia meninggalkan pelajarannya.
2.8 Kata Sandang atau Artikel
Kata Sandang itu tidak mengandung suatu arti, tetapi memiliki fungsi.
Adapun fungsi Kata Sandang seluruhnya dapat disusun sebagai berikut:
1.    Menentukan kata benda.
2.    Menstubstansikan suatu kata: yang besar, yang jangkung, dan sebagainya.
Kata-kata Sandang yang umum dalam bahasa Indonesia adalah yang, itu, nya, si, sang, hang, dang . Kata-kata sang, hang dan dang banyak digunakan dalam kesusastraan lama; sekarang amat jarang digunakan lagi, kecuali sang , yang kadang-kadang digunakan untuk mengagungkan, kadang untuk menyatakan ejekan atau ironi.

2.9 Kata Seru atau Interjeksi
Oleh semua ahli tatabahasa, Kata Seru dianggap sebagai kata yang paling tua dalam kehidupan bahasa. Umat manusia tidak sekaligus mengenal sistem bahasa seperti saat ini. Dari awal mula perkembangan umat manusia, sedikit demi sedikit diciptakan sistem-sistem bunyi untuk komunikasi antar anggota masyarakat. Dan bentuk yang paling tua yang diciptakan untuk mengadakan hubungan atau komunikas itu adalah kata seru.
Menurut Tatabahasa Tradisional kata seru diklasifikasikan sebagai suatu jenis kata. Bila melihat wujud dan fungsinya, maka ketetapak tersebut kurang dapat diterima. Interjeksi sekaligus mengungkapkan semua perasaan dan maksud seseorang, berarti interjeksi sudah termasuk dalam bidang sintaksis. Atau dengan kata lain apa yang dinamakan kata seru itu bukanlah kata melainkan semacam kalimat.
Bermacam-macam interjeksi yang dikenal hingga sekarang dalam kehidupan masyarakat bahasa Indonesia adalah:
1.    Interjeksi asli: yah, wah, ah, hai, o, oh, cih, nah, dan lain-lain.
2.    Interjeksi yang berasal dari kata-kata biasa. Yang dimaksud dengan interjeksi ini adalah kata-kata benda atau kata-kata lain yang digunakan atau biasa digunakan sebagai kata seru: celaka, masa, kasihan, dan lain-lain.
3.    Interjeksi yang berasal dari ungkapan-ungkapan, baik ungkapan Indonesia asli maupun ungkapan asing: ya ampun, Insya Allah, Astaghfirullah, dan lain-lain.
2.10  Kata Ganti atau Pronomina
Yang termasuk dalam jenis kata ini adalah segala kata yang dipakai untuk menggantikan kata benda atau yang dibendakan. Pembagian Tradisional menggolongkan kata-kata ini ke dalam suatu jenis kata tersendiri. Ketentuan ini tidak dapat dipertahankan dari segi structural, karena kata-kata ini sama strukturnya dengan kata-kata benda lainnya. Oleh karena itu dalam usaha mengadakan pembagian jenis kata yang baru kita akan menempatkannya dalam suatu posisi yang lain dari biasa.
Kata-kata ganti menurut sifat dan fungsinya dapat dibedakan atas:

2.10.1. Kata Ganti Orang atau Pronomina Personalia
Kata Ganti Orang dalam bahasa Indonesia adalah:
                                             Tunggal             Jamak
                       Orang   I :       aku                     kami, kita
                       Orang  II :       engkau                kamu
                       Orang III :       dia                      mereka
a. Untuk orang I
Untuk orang pertama tunggal, guna menyatakan kerendahan diri dipakai kata-kata hamba, sahaya (Sansekerta: pengiring, pengikut), patik, abdi. Sebaliknya intuk mengungkapkan suasana yang agung atau mulia maka kata kami yag sebenarnya digunakan untuk orang pertama jamak dapat dipakai pula untuk menggantikan orang pertama tunggal. Ini disebut pluralis majestatis.
b. Untuk orang II
Untuk orang kedua tunggal dipakai paduka (Sansekerta: sepatu), tuan, Yang Mulia, saudara, ibu, bapak, dan lain-lain. Semuanya itu dipakai untuk menyatakan bahwa orang yang kita hadapi jauh lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Kata kamu yang sebenarnya merupakan kata ganti orang kedua jamak dipakai pula sebagai pluralis majestatis untuk menggantikan orang kedua tunggal. Tetapi pada masa sekarang ini nilai keagungan itu sudah tidak terasa lagi, karena terlalu sering dipakai.
c. Untuk orang III
Untuk orang ketiga dipergunakan juga kaata-kata beliau, sedang bagi yang telah meninggal dipakai kata mendiang, almarhum atau almarhumah.
2.10.2 Kata Ganti Kepunyaan atau Pronomina Posesif
Kata ganti kepunyaan adalah segala kata yang menggantikan kata ganti orang dalam kedudukan sebagai pemilik: -ku, -mu, -nya, kami, kamu, mereka. Sebenarnya pembagian ini dalam bahasa Indonesia tidak diperlukan sebab yang disebut kata ganti kepunyaan itu sama saja dengan kata ganti orang dalam fungsinya sebagai pemilik. Dalam fungsinya sebagai pemilik ini, kata-kata tersebut mengambil bentuk-bentuk ringkas dan dirangkaikan saja di belakang kata-kata yang diterangkannya.
     bajuku   = baju aku
     bajumu  = baju engkau
     bajunya  = baju n + ia
Bentuk-bentuk ringkas ini yang diletakkan di belakang sebuah kata disebut enklitis . Bentuk enklitis ini dipakai juga untuk menunjukkan fungsi kata ganti orang, bila kata ganti orang itu menduduki jabatan obyek atau mengikuti suatu kata depan:
padaku, padamu, padanya, bagiku, bagimu, baginya, dan lain-lain.
Apabila bentuk-bentuk ringkas itu dirangkaikan di depan sebuah kata disebut proklitis , misalnya kupukul, kaupukul.
Di atas telah disinggung bahwa apa yang dinamakan kata ganti kepunyaan itu dalam bahasa Indonesia tidak pelu ada. Bahwa dalam bahasa Yunani-Latin terdapat konsepsi ini, hal itu sejalan dengan struktur bahasa-bahasa tersebut. Sebagai contoh, kata saya dalam bahasa Latin adalah ego dengan mengambil bermacam-macam bentuk sesuai dengan fungsinya dalam kalimat: ego, mei, mihi, me; tetapi dalam fungsinya sebagai pemilik terdapat bentuk meus, yang akan mengambil semua bentuk sebagai kata-kata sifat sesuai dengan kata benda yang diikutinya: meus, mei, meo, dan lain-lain. Jadi kata meus memiliki deklinasi tersendiri. Bahasa Indonesia tidak demikian. Dalam segala hal kata saya, misalnya, tetapi tidak berubah: saya berjalan, abang memukul saya, ia memberi sebuah buku kepada saya, ia mengambil buku saya, dan sebagainya. Kata saya dalam buku saya tidak mengurangi pengertian kita bahwa kata itu adalah pengganti orang dengan fungsi sebagai pemilik sesuatu.
2.10.3 Kata Ganti Penunjuk atau Pronomina Demonstratif
Kata Ganti Penunjuk adalah kata-kata yang menunjuk dimana terdapat suatu benda. Dalam masyarakat bahasa Melayu Lama, atau lebih dahulu lagi, seharusnya orang mengenal tiga macam kata ganti penunjuk:
1.    Menunjuk sesuatu di tempat pembicara : ini
2.    Menunjuk sesuatu di tempat lawan bicara : itu
3.    Menunjuk sesuatu di tempat orang ketiga : *ana.
Menunjukan benda pada tempat orang ketiga pada waktu sekarang disamakan saja dengan penunjukan pada tempat orang kedua yaitu dengan mempergunakan kata itu. Berdasarkan perbandingan dengan beberapa bahasa Daerah, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kata *ana untuk menunjukkan benda pada tempat orang ketiga harus ada pada jaman dahulu, seperti pada bahasa Jawa misalnya, ketiga bentuk itu masih ada: iki, iku, ika. Penunjukan pada tempat orang ketiga dalam bahasa Indonesia lama kelamaan mundur atau kurang dipergunakan, akhirnya hilang sama sekali dari perbendaharaan bahasa Indonesia. Walaupun demikian kita masih menemukan residu dalam pemakaian sehari-hari, seperti: sana, sini, situ.
2.10.4 Kata Ganti Penghubung atau Pronomina Relatif
Kata Ganti Penghubung ialah kata yang menghubungkan anak kalimat dengan suatu kata benda yang terdapat dalam induk kalimat. Fungsi kata ganti penghubung antara lain:
1.    Menggantikan kata benda yang terdapat dalam induk kalimat.
2.    Menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat.
Kata Ganti Penghubung dalam bahasa Indonesia yang umum diterima adalah yang. Dalam sejarah pertumbuhan bahasa Indonesia kata yang mula-mula tidak mempunyai fungsi relatif seperti sekarang. Dahulu yang hanya berfungsi sebagai penentu atau penunjuk. Lambat laun fungsi-fungsi itu menghilang dan nyaris tidak dirasakan lagi. Walaupun demikian masih terdapat residu-residu dungsi tersebut dalam pemakaian kita sehari-hari:
      Yang buta dipimpin
      Yang lumpuh diusung
      Ia berkata kepada sekalian yang hadir
      Yang besar harus memberi contoh kepada yang kecil.
Kata yang sebenarnya terbentuk dari kata ia (sebagai penunjuk) dan ng sebagai penentu. Ia sebenarnya adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang juga dipergunakan sebagai penunjuk, serta unsure ng itu biasa dipergunakan dalam bahasa Indonesia Purba dengan fungsi penentu. Dengan demikian fungsi yang sejak dari awal perkembangannya hingga sekarang dapat diurutkan sebagai berikut:
1.    Sebagai penunjuk
2.    Sebagai penentu (penekan)
3.    Sebagai penghubung dan pengganti
Selain kata yang, terdapat lagi satu kata ganti penghubung yang lain, yang benar-benar bersifat Indonesia asli, terutama bila menggantikan suatu keterangan atau tempat, yaitu kata tempat. Karena pengarug bahasa-bahasa Barat, orang sering lupa akan kata ganti penghubung ini, serta menterjemahkan ungkapan-ungkapan asli dengan kata-kata yang sebenarnya tidak sesuai dengan selera bahasa Indonesia, misalnya:
        Rumah di mana kami tinggal
        Lemari di dalam mana saya menyimpan buku
Kalimat-kalimat di atas akan terasa lebih baik bila dikatakan:
        Rumah tempat kami tinggal
        Lemari tempat saya menyimpan buku
Jadi, kita tidak perlu mengikatkan diri kepada konstruksi-konstruksi asing yang tidak sesuai dengan jalan bahasa Indonesia. Fungsi kata tempat sebagai penghubung tampak jelas dari contoh-contoh di atas. Di samping itu kita tidak perlu terikat kepada satu konstruksi, tetapi bias mencari variasi-variasi lain tetapi yang asli Indonesia.
2.10.5 Kata Ganti Penanya atau Pronomina Interogatif
Kata Ganti Penanya adalah kata yang menanyakan tentang benda, orang atau sesuatu keadaan. Kata Ganti Penanya dalam bahasa Indonesia adalah:
1.    Apa : untuk menanyakan benda
2.    Siapa : (si + apa) untuk menanyakan orang
3.    Mana : untuk menanyakan pilihan seseorang atau beberapa hal atau barang.
Kata-kata Ganti Penanya di atas dapat dipakai lagi dengan bermacam-macam penggabungan dengan kata-kata depan, seperti:
       dengan apa           dengan siapa            dari mana
       untuk apa              untuk                       siapa ke mana
       buat apa k             kepada siapa
Selain dari kata-kata tersebut ada pula kata-kata ganti penanya yang lain bukan menanyakan orang atau benda tetapi menanyakan keadaan, perihal dan sebagainya:
       mengapa               bagaimana
       berapa                  kenapa (pengaruh bahasa Jawa)
2.10.6 Kata Ganti Tak Tentu atau Pronomina Indeterminatif
Kata Ganti Tak Tentu adalah kata-kata yang menggantikan atau menunjukkan benda atau orang dalam keadaanyang tidak tentu atau umum, misalnya:
       masing-masing         siapa-siapa            seseorang
       sesuatu                    barang para
       salah (salah satu…)
Kata barang dalam bahasa Melayu Lama masih mempunyai peranan yang cukup penting karena masih sering digunakan:
       Barang siapa melanggar peraturan harus ditindak tegas
       Barang apa yang dikerjakannya pasti berhasil
       Berilah aku barang sedikit.   















BAB I PENDAHULUAN


3.1 Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan, karena peneliti turun langsung ke lapangan untuk memperoleh data yang sesuai dengan masalah penelitian.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, maka peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya ( Sudaryanto, 1992: 62).
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahasa lisan. Data bahasa lisan tersebut dipilih dari hasil interaksi masyarakat di Desa Teporoko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe berupa tuturan-tuturan dalam bentuk kalimat atau kata-kata yang memuat tentang kata ganti orang yang dituturkan oleh penutur asli yang sesuai dengan konteks pembicaran.
3.2.2 Sumber Data
Sehubungan data penelitian ini berupa data lisan maka sumber data dalam penelitian ini adalah informan. Informan yang ditetapkan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu informan dari penutur asli bahasa ereke terdiri dari 3 orang dan informan dari penutur asli bahasa wawonii terdiri dari 3 orang. Orang yang dijadikan sebagai informan adalah mereka yang memenuhi criteria sebagai berikut:
a.    Penutur asli bahasa yang diteliti
b.    Berdomisili di lokasi penelitian
c.    Memiliki artikulasi yang baik
d.    Komunikatif sehingga memahami apa yang diajukan peneliti
e.    Memiliki waktu untuk memberikan data kebahasaan (Marafad, 2008:18)
3.3    Metode dan Teknik Pengumpulan Data
3.3 1 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari peneliti, peneliti menggunakan metode simak dan metode cakap, yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak setiap pembicaraan informan. Metode cakap yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data lisan dengan cara mengadakan kontak langsung dengan informan.
3.3.2 Teknik pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini. Yaitu:
1.    Teknik rekam, yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara merekam percakapan informan, terutama yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik rekam digunakan dengan pertimbangan bahwa data yang diteliti berupa data lisan. Teknik ini dilakukan dengan berencana, sistematis maupun dengan serta merta.
2.    Teknik catat yaitu cara yang dilakukan peneliti untuk mencatat data-data yang ada hubungannya dengan masalah peneliti, kemudian diseleksi, diatur, selanjutnya diklasifikasikan.
3.    Elisitasi, yaitu mengajukan pertanyaan secara langsung dan terarah.

3.4    Metode dan Teknik Analisis Data
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan structural yang bersifat deskriptif sinkronis, yakni peneliti berusaha memberikan gambaran objektif tentang bentuk pronomina dengan memberlakukan bahasa tersebut dalam pemakaian masyarakat tutur pada masa sekarang.

Sabtu, 12 Mei 2012

PERBEDAAN KATA GANTI ORANG BAHASA EREKE DENGAN KATA GANTI ORANG BAHASA WAWONII


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Dan Masalah
1.1.1        Latar Belakang
bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai alat komunikasi. Hal ini tampak dari berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Bahasa senantiasa dijadikan kerangka untuk mencapai tujuan. Dengan bahasa kita dapat mengomunikasikan berbagai aspek kehidupan dalam arti yang luas.
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku yang mendiami pulau-pulau nusantara dari sabang sampai merauke. Suku-suku bangsa ini mempunyai bahasa yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Bahasa itu digunakan diantaranya sebagai alat komunikasi anggota masyarakat. Dengan demikian betapa pentingnya bahasa dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tampak dalam kehidupan masyarakat suku-suku bangsa itu dan dalam berbagai aktivitas kehidupan mereka dalam kaitan bahasa juga refleksi tata kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan tentang bahasa sangat bermanfaat bagi orang yang mempelajari seluk-beluk pemilik bahasa dalam hal ini bahasa daerah.
Bahasa daerah merupakan salah satu unsure kebudayaan daerah yang perlu dikembangkan dan dipertahankan kelestariannya, serta diperkenalkan kebudayaannya pada dunia luar. Adanya pendokumentasian atau penelitian tentang bahasa daerah sebagai suatu upaya untuk menjaga kelestarian bahasa daerah dan budaya bangsa.  Pada penjelasan UUD 1945 pasal 36, dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat penghubung yang hidup dan dibina oleh Negara karena bahasa-bahasa itu sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Agar manusia tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan bahasa, maka ditetapkan konvensi-konvensi atau peraturan dalam berbahasa yang harus ditaati oleh pemakai bahasa. Konvensi-konvensi itu kemudian diatur dan diklasifikasikan sesuai dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian, anggota-anggota dan kelompok masyarakat dapat hidup bersama secara berdampingan dalam masyarakat, karena ada suatu perangkat hukum dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tingkah laku mereka, termasuk tingkah laku berbahasa.
Ketika aktivitas berbicara berlangsung ada dua factor yang mempengaruhi, yaitu factor situasi dan factor social. Menurut Padeta , (1978:15) factor situasi turut mempengaruhi pembicara terutama dalam memilih kata-kata dan bagaimana cara menggunakannya. Sedangkan factor social juga turut mempengaruhi pembicara dalam menentukan bahasa yang digunakannya, dengan menentukan factor-faktor kemasyarakatan seperti umur, jenis kelamin, status, jabatan dan lain-lain. Bertalian dengan aktivitas berbicara ini, maka lahirlah ungkapan bahasa yang sopan, bahasa tidak sopan, bahasa halus, dan bahasa kasar.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik mengangkat judul “Perbedaan Kata Ganti Orang Bahasa Ereke dengan Kata Ganti Orang Bahasa Wawonii” Dengan pertimbangan, 1) menurut pengetahuan penulis belum ada yang mengangkat judul yang sama, 2) pentingnya untuk mengetahui kata ganti orang khususnya yang berhubungan dengan factor social, 3) mengingat banyaknya masyarakat dewasa ini yang tidak lagi memiliki kesantunan dalam berkomunikasi, serta 4) bahasa-bahasa daerah adalah lambang identitas daerah maka sudah selayaknya untuk diselamatkan, dipelihara, dibina dan dikembangkan.
1.1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah perbedaan kata ganti orang bahasa Ereke dengan kata ganti orang bahasa Wawonii ?”.
1.2  tujuan dan manfaat penelitian
1.2.1        Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kata ganti orang bahasa Ereke dengan kata ganti orang bahasa Wawonii.



1.2.2        Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai bahan infomasi dan dokumentasi data kebahasaan terutama mengenai kata ganti orang bahasa Ereke dengan bahasa Wawonii.
2.      Sebagai pedoman bagi peneliti lain yang kajiannya berkaitan dengan masalah ini.
3.      Sebagai kontribusi terhadap pentingnya menguasai bahasa daerah sebagai wujud kecintaan terhadap bahasa daerah.
1.3 Batasan Operasional

tes

sdfghj, vbcxdfgh